Kamis, 12 Maret 2009

ateisme

Kritik Agama Ludwig Feuerbach (1804-1872)

Feuerbach mendasarkan pemikirannya berdasarkan kritiknya atas pemikiran seorang filsuf bernama Hegel. Menurut Hegel (1770-1831) dalam kesadaran manusia, Allah mengungkapkan diri. Maksudnya begini (dalam kaca mata tafsiran Feuerbach), kita merasa berpikir dan bertindak menurut kehendak atau selera kita tetapi di belakangnya Allah mencapai tujuannya. Meskipun di tingkatannya sendiri manusia bebas dan mandiri, akan tetapi dengan kemandiriannya itu Allah menyatakan kehendaknya. Seakan-akan kita ini wayang, wayang-wayang yang memang dengan kesadaran, pengertian dan kemauan sendiri, namun yang sebenarnya tetap di tangan Allah, Sang Dalang. Jadi Allahlah pelaku sejarah yang sebenarnya tetapi seakan-akan ada di belakang layer. Para pelaku, manusia, tidak sadar bahwa mereka di dalangi olehNya.
Feuerbach mengkritik pemikiran inti Hegel ini. Hegel seakan-akan memutarbalikan fakta bahwa yang nyata adalah Allah (yang tidak kelihatan) dan manusia (yang kelihatan) adalah wayangnya. Padahal yang nyata adalah manusia, sedangkan Allah berada sebagai objek pikiran manusia.
Menurut Feuerbach, pengalaman yang tidak terbantahkan adalah pengalaman inderawi dan bukan pikiran spekulatif. Kepastian inderawi adalah satu-satunya penjelasan yang tidak terbantahkan. Bukan Allah yang menciptakan manusia melainkan manusialah yang menciptakan Allah. Allah-lah ciptaan angan-angan manusia. Agama hanyalah sebuah proyeksi manusia.
Agama bagi Feuerbah mempunyai nilai positif karena merupakan proyeksi hakekat manusia. Dalam agama, manusia dapat melihat siapa dia, misalkan bahwa dia itu kuasa, kreatif, baik, berbelaskasihan dan lain sebagainya. Namun sayangnya manusia tidak sadar bahwa proyeksi itu adalah diri sendiri. Ia begitu terkesan dengan proyeksi itu sehingga menganggapnya sebagai sesuatu yang berada di luar dirinya. Proyeksi itu hakekatnya sangat sempurna (karena manusia selalu mencita-citakan diri secara sempurna). Manusia hendaknya berusaha keras dalam mencapai kesempurnaan itu. Karena merasa tidak mampu dan ingin mengharapkan kesempurnaan akhirnya manusia melekatkan diri ideal itu pada sesuatu yang disebut “Allah”. Ia menyembah Allah agar Allah memberikan kesempurnaan itu. Maka manusia menyembah Allah agar mendapat berkah kesempurnaan darinya. Secara sederhana, dari pada berusaha untuk menjadi seutuh dan sesempurna mungkin, manusia mengharapkan akan menerima keutuhannya dari Allah dan kesempurnaannya di surga. Menurut Feuerbach, hal itu dapat menghalangi manusia untuk bertindak social, oleh karena itu tidak heran jika manusia beragama sering tampak intoleran dan fanatik.
Oleh karena itu, Feuerbah berpendapat bahwa manusia hanya dapat mengakhiri keterasingannya dan menjadi diri sendiri apabila ia meniadakan agama. Ia harus menolak kepercayaan kepada Allah yang mahakuat, mahabaik, mahaadil, dan mahatahu supaya ia sendiri kuat, adil, baik dan tahu.

Tanggapan atas kritik Feuerbach.
Apakah benar bahwa agama tidak lebih dari pada sebuah proyeksi manusia? Ada benarnya karena dalam agama-agama mudah ditemukan banyak unsur yang mencerminkan cita-cita, prasangka, emosi manusia. Banyak hal yang dipercayai dan dilakukan atas nama agama yang sebenarnya tidak ditemukan dalam wahyu aseli agama yang bersangkutan, melainkan interpretasi yang miring atau tambahan kontektual kemudian. Banyak institusionalisasi dalam agama-agama berkembang di kemudian hari. Semua unsur manusiawi itu memang proyeksi manusia. Jadi Feuerbach ada benarnya. Banyak kenyataan dalam hidup umat beragama tidak berdasarkan wahyu dari Allah, melainkan merupakan hasil kreatifitas maupun kepicikan umat yang bersangkutan sendiri.
Tetapi masalahnya apakah agama itu tidak lebih dari proyeksi manusia? Itulah yang tidak pernah dibuktikan oleh Feuerbach. Bahwa dalam agama-agama ada proyeksi manusia, tidak berarti bahwa agama tidak lebih dari pada sebuah proyeksi. Pertanyaan yang tidak diajukan Feuerbach “Apakah ada Allah atau tidak?” Feuerbach belum menyentuh pertanyaan ini. Pengalaman inderawi bukan segala-galanya.
Andaikan Allah ada, sangatlah rasional jika manusia menyembah, memuji serta mohon bantuan Allah. Jika memang Allah ada, tentulah Allah yang mencipta segalanya. Jika demikian, maka menghormati dan menyembah Allah tidaklah menjauhkan manusia dari dirinya sendiri, soalnya dirinya sendiri berdasarkan pada Allah. Ia akan menemukan diri sendiri jika ia menemukan Allah. Maka pernyatan Feuerbach tidak dapat dipertahankan dan dianggap sebagai pernyataan yang sewenang-wenang.

Agama Candu Rakyat : Karl Marx

Marx setuju dengan Feuerbach. Hanya saja menurutnya, Feuerbach berhenti di tengah jalan. Betul bahwa agama hanyalah khayalan manusia tetapi Marx menjelaskan mengapa manusia melarikan diri ke dalam khayalan tersebut. Manusia lari dari kehidupan nyata karena struktur kekuasaan masyarakat tidak mengijinkan manusia untuk mewujudkan kekayaan hakikatnya. Manusia melarikan diri ke dunia khayalan karena dunia nyata menindasnya. Jadi agama adalah protes manusia terhadap keadaannya yang terhina dan tertindas. “Agama adalah realisasi dari hakikat manusia dalam angan-angan karena hakikat manusia tidak mempunyai realitas yang sungguh-sungguh…..Penderitaan religius adalah ekspresi penderita nyata dan sekaligus protes terhadap penderita nyata. Agama adalah keluhan makhluk terdesak, hati dunia tanpa hati, sebagaimana dia adalah roh keadaan yang tanpa roh. Agama adalah candu rakyat.”
Kritik agama tidaklah bermanfaat dan yang diperlukan untuk mengubah dunia adalah mengubah keadaan masyarakat yang membuat manusia lari ke agama. Agama adalah ilusi manusia tentang keadaannya. Oleh karena itu, kritik tidak hanya berhenti pada agama melainkan pada keadaan sosial politik yang mendorong manusia kepada agama. Dengan penindasan, agama seakan-akan melumpuhkan semangat melawan dari kelas-kelas tertindas kepada kelas-kelas atas.

Tanggapan atas kritik Karl Marx.
Ia masih belum menyentuh pada pertanyaan apakah Allah itu ada atau tidak. Ia tidak membuktikan akan ketiadaannya Allah. Kemudian, tidak semua orang beragama menjadikan agama sebagai pelarian dari situasi sosial politik.




Allah Telah Mati : Friedrich Nietzche

“Allah telah mati dan kamilah pembunuhnya.” Mengapa Allah harus dibunuh dan bagaimana pembunuhan Allah dilakukan. Allah sebenarnya tidak dibunuh. Nietzche tidak pernah mau mengatakan bahwa Allah itu ada. Nietzche berpendapat bahwa yang menciptakan Allah adalah manusia. Ia mengatakan bahwa Allah telah mati bukan karena memang Dia pernah ada, tetapi karena diciptakan oleh manusia. Namun menurutnya, Allah pada akhirnya tetap dan harus dibunuh karena sesudah Allah diciptakan manusia, Ia menguasai manusia dan mengasingkannya dari diri sendiri dan dari dunianya. Allah membuat manusia menjadi kerdil dan mengkorupsikan moralitasnya. Allah itu dianggap sebagai kebenaran sehingga manusia hidup dalam kebohongan.
Penilaian Nietzche begitu keras karena baginya agama tak lain adalah pelarian dari dunia yang seharusnya dihadapi (jika ia mau jujur). Agama adalah ciptaan mereka yang kalah, yang tidak berani melawan, dan tidak berani berkuasa. Agama menurutnya adalah sentiment mereka yang dalam hidup nyata itu kalah sehingga mengharapkan bahwa sesudah hidup ini mereka akan dimenangkan oleh kekuatan di alam baka.
Agama itu berkaitan erat dengan moralitas 2000 tahun terakhir yang dicirikannya sebagai moralitas budak seperti kerendahan hati, sikap rela, menerima, kesediaan untuk tidak membalas, menawarkan “pipi kiri” jika ditampar “pipi kanan” dan lain sebagainya. Moralitas ini meluhurkan mereka yang sakit, lumpuh dan kaum gagal. Moralitas itu kemenangan sentimen mereka yang diperbudak atas para tuan mereka karena nilainya justru menjunjung tinggi sifat-sifat para budak (berbahagialah orang miskin dsb). Maka bagi Nietzche, agama dan moralitasnya adalah sosok buruk yang membenarkan semua naluri dekaden (penurunan), semua pelarian dan kelelahan jiwa. Semuanya itu harus ditolak dengan penuh kejijikan oleh semua orang yang masih memiliki harga diri. Oleh karena itu jika manusia mau jujur, ia harus menolak kepercayaan akan Allah.

Tanggapan atas Kritik Nietzche

Struktur kritik Nietzche searah dengan kritik agama Feuerbach dan Karl Marx dan ia tetap tidak dapat menunjukkan atau membuktikan tidak adanya Allah. Ada benarnya bahwa dalam sejarah hidupnya manusia menjadikan Allah atau agama sebagai tameng dari perasaan-perasaannya seperti rasa takut, kecenderungan untuk lari dari tanggung jawab, kecurigaannya, kemalasannya, kelemahannya untuk berusaha berkembang, untuk membuka diri, atau bahkan agama menjadi saluran kebencian kerdil, kekejaman dan kebengisan atau sebagai dalih yang paling mudah untuk bersikap sok tahu, dogmatis, picik, tidak toleran serta lari dari otentisitas diri dan lain sebagainya. Hal itu semua tidak perlu disangkal. Namun apakah kepercayaan kepada Allah hanya itu saja yang berisi tentang pelarian dan kebohongan? Bukankah ada ratusan, ribuan dan bahkan tak terhitung banyaknya orang yang percaya pada Tuhan karena merasa didukung olehNya lalu berani menjadi manusia bagi orang lain dengan gembira, bersedia berkurban dengan tidak menggerutu atau minta belas kasihan. Bukankah agama telah membebaskan tak terhitung banyaknya manusia untuk membuka hati untuk menghadapi realitas hidup dengan segala risiko dan tantangannya tanpa harus menghindar bahaya atau membuat suatu dendam atau kebencian pada orang lain. Manusia beragama seperti itu apakah berhati budak.
Ateisme Sigmund Freud

Freud mengkritik bahwa agama adalah pelarian neurotis dan infantil dari realitas. Dari pada berani menghadapi dunia nyata dengan segala tantangannya, manusia mencari keselamatan dari “Tuhan” yang tidak kelihatan dan tidak nyata. Penuh ketakutan manusia tunduk terhadap sesuatu yang ada kaitannya dengan dunia nyata dan tantangannya. Misalnya, orang tidak dapat berkomunikasi dengan normal, takut tanpa alasan, terus menerus mencuci tangan dan lain sebagainya. Menurut Freud, neurosis dapat terjadi apabila orang bereaksi tidak benar atas suatu pengalaman yang amat emosional dan memalukan. Misalnya, ada anak diperkosa. Karena merasa amat malu, ia waktu itu langsung menyingkirkan kejadian itu dari ingatannya, seakan-akan tidak ada yang terjadi. Tetapi rasa malu yang tertekan seakan-akan ribut terus dalam bagian jiwa tak sadar dan sesudah waktu tertentu akan muncul kembali ke permukaan kesadaran sebagai suatu kelakuan yang aneh, yang tidak dapat diatasinya. Neurosis itu menyebabkan ia tidak dapat mengembangkan diri secara dewasa (berpikir rasional terhadap masalah).
Menurut Freud, neurosis itu berkaitan dengan superego. Superego membonceng suara hati. Superego itu berasal dari apa yang diterima dari norma orang tua dan masyarakat. Superego muncul untuk memberi penilaian dan orang tidak lagi melihat permasalahan secara rasional dan aktual. Penyebab neurosis yang paling penting adalah Kompleks Oedipus yaitu anak kecil laki-laki ingin kawin dengan ibunya, tetapi tidak bisa karena ibu sudah memiliki ayahnya, maka ia ingin membunuh ayahnya, saingannya itu sekaligus dikagumi keperkasaannya. Namun karena keinginan itu ditegur keras oleh superego sebagai buruk dan memalukan, ia tidak menanggapinya, melainkan menyangkalnya. Pengangkalan itulah yang dapat menghasilkan neurosis.
Freud bertolak dari fungsi agama. Agama membuat manusia percaya akan adanya dewa-dewa yang mengatasi ancaman-ancaman alam, membuat orang menerima kekejaman nasibnya dan menjanjikan ganjaran atas penderitaan dan frustrasi yang dituntut dari manusia. Jadi melalui agama, manusia mau melindungi diri terhadap segala macam ancaman dan penderitaan. Namun perlindungan itu hanyalah ilusi. Dewa-dewa bukannya sungguh-sungguh melindungi manusia melainkan hanya diinginkan agar melindunginya. Itulah ilusi dimana ada keyakinan bahwa suatu harapan akan terpenuhi, bukan karena kenyataan mendukung harapan itu melainkan karena orang menginginkannya. Ilusi itu infantile (kekanak-kanakan) karena mengharapkan apa yang diinginkan sungguh-sungguh akan terpenuhi adalah ciri khas anak kecil. Agama membawa orang pada sikap infantil dimana mereka menghadapi permasalahan nyata dengan wishful thinking. Oleh karena itu, agama melumpuhkan manusia. Ia menjadi pasif dengan mengharapkan keselamatan dari Tuhan dari pada mencari jalan untuk mengusahakan sendiri dan mengembangkannya sendiri.

Tanggapan
Apakah semua orang neurosis. Tidak. Ada orang yang dengan beragama dan beriman pada Tuhan semakin bertindak secara rasional dalam menghadapi permasalahan. Ada orang religious yang tidak menunjukkan tanda-tanda neurotik sama sekali. Mereka gembira, bahagia dan terbuka karena beriman. Dalam dunia nyata, sifat infantil memang ada, tetapi tidak semua orang. Ada orang beragama yang berusaha dalam hidupnya untuk meraih mimpi-mimpinya. Freud pun tidak dapat menunjukkan tidak adanya Allah.

Sumber "menalar tuhan" Franz Magnis_Suseno

Tidak ada komentar:

Posting Komentar